SANIA




Lampu yang menyala redup samar menerangi ruangan sempit yang ia sebut kamar tidur. Hidungnya yang sedang kembang kempis membuat parasnya yang jelek menjadi semakin jelek. Kendati demikian, perempuan itu acuh dengan sekitar.

Namanya Sania, ia adalah figur perempuan sederhana yang jauh dari kata sempurna. Lahir di pertengahan orde baru, Sania menjadi sosok yang cukup kolot untuk mengikuti perkembangan zaman, makanya ia bekerja sebagai seorang buruh pabrik sekarang.

Hari itu bertepatan dengan hari libur Sania di tempat kerjanya—dia sengaja mengambil cuti berharga demi wacana semata yang entah bagaimana akhirnya. Sania bersolek rapi nan cantik untuk menutupi minus-minus dirinya. Berlapiskan tunik berwarna biru tua, ia berputar-putar gembira di depan cermin kumuh berumur sewindu, hari yang sudah lama ia dambakan pun akan tiba.

Segala rencana yang sudah ia susun di hari Sabtu malam itu tiba-tiba dibatalkan. Rencana reuni teman SMK, mengunjungi orang tua, menonton drakor, ia hiraukan setelah lelaki seumurnya yang ia sukai membalas pesan Sania dan mengajak bertemu.

Ia pun bergegas menuruni tangga kosnya dan memesan ojek online. 12 menit Sania habiskan waktunya untuk menunggu kedatangan si ojek, akhirnya muncul juga batang hidung transportasi yang sedang banyak diminati itu. Dinaikinya motor butut yang ia pesan dan bergegas menuju restoran yang sudah Sania pesan.

Sania diberi wewenang untuk menentukan tempat di mana ia dan lelaki idamannya akan bertemu. Merasa kesempatan emas ini tidak akan datang dua kali, ia pun dengan hikmat menelusuri tempat-tempat yang sedang populer. Lalu menemukan suatu restoran bernuansa romantis yang didominasi warna monokrom, berhiaskan lampu kerlap-kerlip berwarna kuning yang membentang dari ujung ke ujung. Meskipun dirasa medioker, Sania hanya ingin merasakan nuansa romantis yang disuguhkan restoran itu.

Sampai lah ia di tempat tujuan, dengan sigap menuruni motor butut yang menyakiti pinggulnya dan membayar ojek online itu dengan senyum merekah. Sania berjalan kaku diiringi degupan jantungnya yang tidak normal. Bagaimana tidak, setelah sekian tahun Sania merasa dirinya sulit disukai, akhirnya lelaki yang ia idamkan mengajaknya bertemu.

Satu langkah lagi sebelum memasuki pintu restoran, Sania mendapatkan dua notifikasi pesan dari lelaki yang akan ditemuinya.

Pesan itu berisi permintaan maaf karena ia tidak bisa menemui Sania dengan alasan kendaraannya rusak. Pesan terakhir berisi janji dia yang akan mengatur ulang jadwal untuk pertemuan mereka.

Sania membeku di tempat setelah membaca pesan itu. Ia menghela napas panjang dan terus membaca ulang dua pesan singkat yang barus saja diterimanya. Harapan yang sudah ia impikan selama bertahun-tahun itu harus lenyap seketika, tanpa mendapatkan petunjuk tentang berita menyedihkan ini. Semuanya tersampaikan dalam waktu sempit.

Dengan berat hati, Sania melenggang masuk ke dalam restoran dengan pikiran yang rancu. Seorang pelayan pun menghampiri tempat duduk Sania dan menawarkan berbagai menu andalan mereka dengan iming-iming promo terbatas. Namun yang Sania pesan hanyalah segelas air putih tanpa ditemani makanan.

Celingak-celinguk ia melihat-lihat sekitar restoran itu. Ternyata benar, tempat yang sedang ia duduki saat ini memiliki nuansa romantis yang sangat kuat. Puluhan pasangan sedang menikmati santapan mereka dengan ditemani lagu mellow dari penyanyi amatir.

Dua detik sebelum Sania hanyut ke dalam alunan musik di restoran, kedua matanya mendapati lelaki yang seharusnya bertemu dengan dirinya sedang duduk santai di pojok restoran. Rupanya kendaraan lelaki itu tidak rusak, Sania telah dibohongi lelaki itu dalam waktu yang singkat. Hendak saja ia menghampiri si lelaki, tiba-tiba datang seorang perempuan cantik seumurannya, berpakaian ketatbberwarna merah merona yang memuakkan. Perempuan itu tampak akrab dengan si lelaki, bahkan berpelukan mesra sebelum dipersilahkan duduk.

Pecah sudah air mata Sania saat itu. Ia tak kuasa menahan rasa sakit yang harus dideritarnya. Kemarahan yang meluap-luap pun tidak bisa ia curahkan, tertahan di dalam tubuhnya yang rentan terkena penyakit.

Dalam keadaan tubuh yang tidak stabil, Sania berlari keluar restoran dengan terhuyung-huyung, mengabaikan puluhan pasang mata yang melihat tingkahnya. Sania pun menangis sejadi-jadinya di luar restoran dalam balutan angin malam. Ia benar-benar merasa dikecewakan. Rencana-rencana yang sudah ia susun dalam waktu berhari-hari sengaja ia batalkan hanya untuk momen ini. Momen di mana ia bisa merasakan mencintai dan dicintai. Namun semuanya benar-benar di luar dugaan. Yang Sania dapat hanyalah rasa sakit dan trauma di setiap momen ia mengingat kejadian itu. Ia merasa bahwa dirinya sangat bodoh telah mempercayai lelaki yang tidak cukup dengan satu perempuan.

Komentar

Postingan Populer